إِنَّ الْحَمْدَلِلهِ . نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ . وَ نَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىآلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا أَمَّابَعْدُ.
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ . اِتَّقُوْ اللهَ ,اِتَّقُوْ اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. أَعُوْذُبِاللهمِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ ,وَلَمَّا بَرَزُوا لِجالُوتَ وَجُنُودِهِ قالُوا رَبَّنا أَفْرِغْ عَلَيْنا صَبْراً وَثَبِّتْ أَقْدامَنا وَانْصُرْنا عَلَى الْقَوْمِ الْكافِرِينَ. صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ.
Pemerintah telah meresmikan 22 Oktober sebagai hari santri. Sebuah penghormatan bagi kaum santri, meskipun penamaan itu banyak pihak yang kurang berkenan karena dianggap kurang akomodatif, kurang representatif terhadap non-santri yang ikut berjuang. Sehingga penamaan yang universal adalah dengan hari resolusi jihad. Apapun yang ada, kita hanya bisa memetik hikmah dari perjuangan-perjuangan para kyai dan ulama memperjuangkan agama Islam di negeri tercinta ini.
Ada baiknya kita memutar mundur arah jarum jam untuk bercermin dan meneladani para pejuang santri masa lalu. Sebagai ibrah untuk langkah kita kedepan yang lebih dinamis dan lebih islami. Dialah berjuluk Pangeran Diponegoro, yang nama aslinya adalah Abdul Hamid Ontowiryo, ternyata tidak sekedar pejuang kemerdekaan yang handal. Beliau adalah mursyid tariqah naqsabandiyah.
Sebagai mursyid tidak hanya memimpin wiridan dan rutinan di masjid. Tapi memberikan pencerahan, bukti nyata, dan sumbangsih yang nyata untuk negeri ini. Sehingga di setiap gerilyanya, Abdul Hamid Ontowiryo ini ditangannya lekat dengan mushaf al Quran dan tasbih.
Perjuangan (Diponegoro) melawan Belanda sangat lama, mulai tahun 1825 – 1830, 5 tahun non-stop. Sehingga pemerintah Belanda waktu itu betul-betul kalang kabut, keuangan negara habis untuk membiayai perang melawan Diponegoro. Baru kali itu Belanda hutang sampai ke luar negeri. Keputusan terakhir ditangkap.
Lalu menjadi sebuah ikon kemiliteran di Jawa Tengah. Jika kita melihat di museum beliau, yang tersisa di kamar Diponegoro adalah satu, mushaf al Quran karena dulu dipakai nderes ngaji di tengah-tengah angkat senjata. Dua, tasbih karena memang beliau seorang mursyid tariqat naqsabandiyyah. Tiga, kitab Fathul Qorib karena beliau memang seorang madzhab Syafi’i. Itu artinya negeri ini bukan didirikan oleh Thogut, tapi oleh mursyid tariqah.
Berikutnya kita kenal Ki Hajar Dewantara, Suwardi Suryadiningrat. Ternyata beliau adalah santri yang hebat, cerdas, dan nyantri di pesantren kyai Sulaiman Zainuddin di daerah Prambanan. Sebagai santri yang betul mendidik dan membentuk dirinya ‘pribadi yang taat’ bukan Taat Pribadi. Untuk itu, Suwardi Suryaningrat ini mampu memadukan ajaran-ajaran filosofis yang diramu dengan kisi-kisi sufistik sehingga menjadi sebuah idiom di maqolah yang sangat berharga : panduan bagi orang pemimpin, panduan bagi orang pendukungdan panduan bagi pengikut. “ing ngarsa sung tulada, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”.
Tidak mungkin, orang tidak mempunyai ilmu yang mendalam. Dengan renungan sufistik yang hebat mampu mengeluarkan kata bijak seperti itu. Sekali lagi, negeri ini didirikan oleh ulama-ulama yang handal.
Yang lebih menakjubkan adalah keturunan Belanda yang membelot. Dia bernama Douwes Dekker, nama Jawa-nya Danudirjo Setiabudi. Leluhurnya adalah seorang Belanda, keluarga Belanda yang elit. Karena kecerdasaannya, dia ditugasi oleh Belanda untuk menyusup dikalangan santri, agar mempengaruhi kaum santri untuk bisa kompromi dengan Belanda.
Ternyata Douwes Dekker setelah mencoba masuk dikalangan pesantren dan mengamati bagaimana prilaku kyai yang sederhana, memberi, santun, dan menyapa rakyat kecil. Sangat berbeda keadaannya, dengan situasi dirumahnya sendiri yang serba roti, burger, babi, pesta, dan lain-lain. Apa yang terjadi, bergejolak di hati Douwes Dekker adalah memilih berpihak kepada kaum santri. Sehingga orang yang kemlondo (bersikap seperti Belanda) begitu melihat santri, berubah menjadi santri dan memuji-muji kebaikan eksistensi santri dan kyai.
Statemennya yang populer ‘andai tidak ada kyai, tidak ada pesantren maka Indonesia ini pasti akan habis, tidak mempunyai jadi diri lagi dihabisi oleh Belanda’. Karena ada kyai, santri, dan pesantren, maka negeri ini menjadi negeri yang terhormat.
Kemerdekaan. Presiden Soekarno dalam membacakan proklamasi tidak mau sendirian, ditunjukklah pendampingnya Mohammad Hatta. Siapa dia, dia adalah Mohammad Hatta bin Asy-Syekh Abdul Jamil. Orang tua Mohammad Hatta ini benar-benar adalah mursyid tariqoh naqsabandiyyah kholidiyyah. Apapun bentuknya, dalam proklamasi tetap diiringi dengan doa. Di back-up dengan ketuhanan. Walaupun selanjutnya Bung Hatta dikenal hanya sebagai Bapak Koperasi.
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ . اِتَّقُوْ اللهَ ,اِتَّقُوْ اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. أَعُوْذُبِاللهمِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ ,وَلَمَّا بَرَزُوا لِجالُوتَ وَجُنُودِهِ قالُوا رَبَّنا أَفْرِغْ عَلَيْنا صَبْراً وَثَبِّتْ أَقْدامَنا وَانْصُرْنا عَلَى الْقَوْمِ الْكافِرِينَ. صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ.
Pemerintah telah meresmikan 22 Oktober sebagai hari santri. Sebuah penghormatan bagi kaum santri, meskipun penamaan itu banyak pihak yang kurang berkenan karena dianggap kurang akomodatif, kurang representatif terhadap non-santri yang ikut berjuang. Sehingga penamaan yang universal adalah dengan hari resolusi jihad. Apapun yang ada, kita hanya bisa memetik hikmah dari perjuangan-perjuangan para kyai dan ulama memperjuangkan agama Islam di negeri tercinta ini.
Ada baiknya kita memutar mundur arah jarum jam untuk bercermin dan meneladani para pejuang santri masa lalu. Sebagai ibrah untuk langkah kita kedepan yang lebih dinamis dan lebih islami. Dialah berjuluk Pangeran Diponegoro, yang nama aslinya adalah Abdul Hamid Ontowiryo, ternyata tidak sekedar pejuang kemerdekaan yang handal. Beliau adalah mursyid tariqah naqsabandiyah.
Sebagai mursyid tidak hanya memimpin wiridan dan rutinan di masjid. Tapi memberikan pencerahan, bukti nyata, dan sumbangsih yang nyata untuk negeri ini. Sehingga di setiap gerilyanya, Abdul Hamid Ontowiryo ini ditangannya lekat dengan mushaf al Quran dan tasbih.
Perjuangan (Diponegoro) melawan Belanda sangat lama, mulai tahun 1825 – 1830, 5 tahun non-stop. Sehingga pemerintah Belanda waktu itu betul-betul kalang kabut, keuangan negara habis untuk membiayai perang melawan Diponegoro. Baru kali itu Belanda hutang sampai ke luar negeri. Keputusan terakhir ditangkap.
Lalu menjadi sebuah ikon kemiliteran di Jawa Tengah. Jika kita melihat di museum beliau, yang tersisa di kamar Diponegoro adalah satu, mushaf al Quran karena dulu dipakai nderes ngaji di tengah-tengah angkat senjata. Dua, tasbih karena memang beliau seorang mursyid tariqat naqsabandiyyah. Tiga, kitab Fathul Qorib karena beliau memang seorang madzhab Syafi’i. Itu artinya negeri ini bukan didirikan oleh Thogut, tapi oleh mursyid tariqah.
Berikutnya kita kenal Ki Hajar Dewantara, Suwardi Suryadiningrat. Ternyata beliau adalah santri yang hebat, cerdas, dan nyantri di pesantren kyai Sulaiman Zainuddin di daerah Prambanan. Sebagai santri yang betul mendidik dan membentuk dirinya ‘pribadi yang taat’ bukan Taat Pribadi. Untuk itu, Suwardi Suryaningrat ini mampu memadukan ajaran-ajaran filosofis yang diramu dengan kisi-kisi sufistik sehingga menjadi sebuah idiom di maqolah yang sangat berharga : panduan bagi orang pemimpin, panduan bagi orang pendukungdan panduan bagi pengikut. “ing ngarsa sung tulada, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”.
Tidak mungkin, orang tidak mempunyai ilmu yang mendalam. Dengan renungan sufistik yang hebat mampu mengeluarkan kata bijak seperti itu. Sekali lagi, negeri ini didirikan oleh ulama-ulama yang handal.
Yang lebih menakjubkan adalah keturunan Belanda yang membelot. Dia bernama Douwes Dekker, nama Jawa-nya Danudirjo Setiabudi. Leluhurnya adalah seorang Belanda, keluarga Belanda yang elit. Karena kecerdasaannya, dia ditugasi oleh Belanda untuk menyusup dikalangan santri, agar mempengaruhi kaum santri untuk bisa kompromi dengan Belanda.
Ternyata Douwes Dekker setelah mencoba masuk dikalangan pesantren dan mengamati bagaimana prilaku kyai yang sederhana, memberi, santun, dan menyapa rakyat kecil. Sangat berbeda keadaannya, dengan situasi dirumahnya sendiri yang serba roti, burger, babi, pesta, dan lain-lain. Apa yang terjadi, bergejolak di hati Douwes Dekker adalah memilih berpihak kepada kaum santri. Sehingga orang yang kemlondo (bersikap seperti Belanda) begitu melihat santri, berubah menjadi santri dan memuji-muji kebaikan eksistensi santri dan kyai.
Statemennya yang populer ‘andai tidak ada kyai, tidak ada pesantren maka Indonesia ini pasti akan habis, tidak mempunyai jadi diri lagi dihabisi oleh Belanda’. Karena ada kyai, santri, dan pesantren, maka negeri ini menjadi negeri yang terhormat.
Kemerdekaan. Presiden Soekarno dalam membacakan proklamasi tidak mau sendirian, ditunjukklah pendampingnya Mohammad Hatta. Siapa dia, dia adalah Mohammad Hatta bin Asy-Syekh Abdul Jamil. Orang tua Mohammad Hatta ini benar-benar adalah mursyid tariqoh naqsabandiyyah kholidiyyah. Apapun bentuknya, dalam proklamasi tetap diiringi dengan doa. Di back-up dengan ketuhanan. Walaupun selanjutnya Bung Hatta dikenal hanya sebagai Bapak Koperasi.
Setelah kemerdekaan perlu ada penyemangatan dokumen melalui lagu-lagu. Muncullah lagu Syukur, berterima kasih atas anugrah Allah karena kemerdekaan telah dicapai. Bahasa ‘syukur’ itu pasti bahasa santri. Dan penciptanya hanya ditulis M. Husein. Nama aslinya Muhammad Husein Al-Muthohhar. Itu artinya dia mempunyai nasab, terjalin dengan Hadratu Rasul Nabiyullah Muhammad saw.
Lagi-lagi, tetesan aliran darah Rasulullah, juga ikut andil di dalam kemerdekaan negeri ini. Saat kemerdekaan, M. Husein ini ditunjuk sebagai duta besar di Vatikan. Membaur dengan orang Kristen disana, dia tidak hilang keimanannya justru mendirikan masjid disana dan sekarang menjadi Pusat Islamic Center.
Turun di tanah ini (Tebuireng), dialah Muhammad Hasyim bin Asy’ari, Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dengan perjuangan yang hebat, ditahan dan lain-lain. Mengeluarkan resolusi jihad yang dipatuhi. Tidak sekedar itu, puteranya yang pejuang Alm. M. Yusuf Hasyim, tiba-tiba mendapat sebutan pak Ud. Karena saat gerilya di dekat pabrik gula itu, ditembak oleh Belanda terkena dahinya. Sehingga beliau spontan mengatakan ‘Ud’, dan tidak apa-apa. Sejak itulah dipanggil pak Ud, karena Ud-Ud menghindari berondongan peluru Belanda.
Semuanya kita ucapkan, allahumma ighfirlahum wa irhamhum wa afihim wa’fu anhum. Itu artinya, kita kaum santri ini punya amanat yang hebat, menegakkan keislaman dengan di berbagai sektor. Para kyai berjuang membela negara ini untuk berkuasa di negeri sendiri. Mengangkat senjata melawan Belanda, bukan murni karena kemerdekaan. Tapi lebih karena untuk meninggikan agama Allah li i’laai kalimatillah. Karena itu ada istilah perang sabil dan lain-lain.
Dengan demikian, organisasi seperti organisasi islam yang lain. Nahdlatul Ulama yang didirikan disini, penuh dengan kyai-kyai pejuang. Kyai-kyai yang non-kompromi dengan non-muslim. Kyai yang betul-betul steril dan agamanya itu betul-betul murni. Tidak mau syubhat dan lain-lain sampai Kyai Hasyim sendiri pernah melarang santrinya memakai celana, karena takut kemlondo. Takut tertular, bukan karena haram.
Untuk itu sewajarnya menjadi santri, khususnya kalangan Nahdliyin harusnya mempunyai komitmen yang hebat, keislamannya itu dipakai terus-menerus. Di masjid, dia beriman. Di pasar, dia beriman. Di jalan raya, dia beriman. Di gedung DPR, dia beriman. Di glanggang perpolitikan keimanannya dipakai.
Bukan sebagai santri yang keimanannya dipakai di masjid, ketika di pilkada dan berpolitik keimanannya dilepas. Persoalan menjadi sensitif, dan bisa dipertanyakan pada diri kita sendiri. Apa peran kita di dalam menyumbang peran keislaman di negeri ini, berperan apa?. Saya tidak berposisi sebagai hakim pemutus hukum, jika ada orang muslim memilih pemimpin sesama muslim pasti dibenarkan oleh agama, sekaligus dibenarkan oleh asas demokrasi.
Jika ada pemimpin yang non-musim, lalu kita orang muslim tidak memilih pemimpin yang non-muslim. Itu hak, dibenarkan oleh agama dan dibenarkan oleh demokrasi. Apanya yang dilanggar?. Dari segi ihtiyat, muslim yang memilih pemimpin muslim itu lebih safety, keimanannya lebih terjaga. Tidak pada tempatnya kita berdebat disini, tapi mana tolong difikir. Pertama, sumbangan kita terhadap Islam itu apa. Masak mengaku muslim, beriman, seharusnya toleransi, sumbangan diberikan kepada sesama muslim. Itu baru namanya muslim akhul muslim.
Kok malah obrak-obrak muslim disuruh milih pemimpin non-muslim. Itu namanya orang Islam yang tidak islami. Yang berupaya untuk merenggangkan keislaman temannya sendiri dari pribadi muslim itu. Resikonya jelas besar. Saya bersumpah lewat mimbar ini, andai seorang muslim memilih pemimpin non-muslim dan ternyata kebijakan pemimpin non-muslim itu merugikan umat Islam pada umumnya. Wallahi, yang milih, partai yang mensponsori, tim sukses, itu wallahi ikut berdosa. Mudah-mudahan bermanfaat.
. بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْم. وَنَفَعَنابه وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأٓيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم. فتقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ تعالى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ البَرُّ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ. و الحمد للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Lagi-lagi, tetesan aliran darah Rasulullah, juga ikut andil di dalam kemerdekaan negeri ini. Saat kemerdekaan, M. Husein ini ditunjuk sebagai duta besar di Vatikan. Membaur dengan orang Kristen disana, dia tidak hilang keimanannya justru mendirikan masjid disana dan sekarang menjadi Pusat Islamic Center.
Turun di tanah ini (Tebuireng), dialah Muhammad Hasyim bin Asy’ari, Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dengan perjuangan yang hebat, ditahan dan lain-lain. Mengeluarkan resolusi jihad yang dipatuhi. Tidak sekedar itu, puteranya yang pejuang Alm. M. Yusuf Hasyim, tiba-tiba mendapat sebutan pak Ud. Karena saat gerilya di dekat pabrik gula itu, ditembak oleh Belanda terkena dahinya. Sehingga beliau spontan mengatakan ‘Ud’, dan tidak apa-apa. Sejak itulah dipanggil pak Ud, karena Ud-Ud menghindari berondongan peluru Belanda.
Semuanya kita ucapkan, allahumma ighfirlahum wa irhamhum wa afihim wa’fu anhum. Itu artinya, kita kaum santri ini punya amanat yang hebat, menegakkan keislaman dengan di berbagai sektor. Para kyai berjuang membela negara ini untuk berkuasa di negeri sendiri. Mengangkat senjata melawan Belanda, bukan murni karena kemerdekaan. Tapi lebih karena untuk meninggikan agama Allah li i’laai kalimatillah. Karena itu ada istilah perang sabil dan lain-lain.
Dengan demikian, organisasi seperti organisasi islam yang lain. Nahdlatul Ulama yang didirikan disini, penuh dengan kyai-kyai pejuang. Kyai-kyai yang non-kompromi dengan non-muslim. Kyai yang betul-betul steril dan agamanya itu betul-betul murni. Tidak mau syubhat dan lain-lain sampai Kyai Hasyim sendiri pernah melarang santrinya memakai celana, karena takut kemlondo. Takut tertular, bukan karena haram.
Untuk itu sewajarnya menjadi santri, khususnya kalangan Nahdliyin harusnya mempunyai komitmen yang hebat, keislamannya itu dipakai terus-menerus. Di masjid, dia beriman. Di pasar, dia beriman. Di jalan raya, dia beriman. Di gedung DPR, dia beriman. Di glanggang perpolitikan keimanannya dipakai.
Bukan sebagai santri yang keimanannya dipakai di masjid, ketika di pilkada dan berpolitik keimanannya dilepas. Persoalan menjadi sensitif, dan bisa dipertanyakan pada diri kita sendiri. Apa peran kita di dalam menyumbang peran keislaman di negeri ini, berperan apa?. Saya tidak berposisi sebagai hakim pemutus hukum, jika ada orang muslim memilih pemimpin sesama muslim pasti dibenarkan oleh agama, sekaligus dibenarkan oleh asas demokrasi.
Jika ada pemimpin yang non-musim, lalu kita orang muslim tidak memilih pemimpin yang non-muslim. Itu hak, dibenarkan oleh agama dan dibenarkan oleh demokrasi. Apanya yang dilanggar?. Dari segi ihtiyat, muslim yang memilih pemimpin muslim itu lebih safety, keimanannya lebih terjaga. Tidak pada tempatnya kita berdebat disini, tapi mana tolong difikir. Pertama, sumbangan kita terhadap Islam itu apa. Masak mengaku muslim, beriman, seharusnya toleransi, sumbangan diberikan kepada sesama muslim. Itu baru namanya muslim akhul muslim.
Kok malah obrak-obrak muslim disuruh milih pemimpin non-muslim. Itu namanya orang Islam yang tidak islami. Yang berupaya untuk merenggangkan keislaman temannya sendiri dari pribadi muslim itu. Resikonya jelas besar. Saya bersumpah lewat mimbar ini, andai seorang muslim memilih pemimpin non-muslim dan ternyata kebijakan pemimpin non-muslim itu merugikan umat Islam pada umumnya. Wallahi, yang milih, partai yang mensponsori, tim sukses, itu wallahi ikut berdosa. Mudah-mudahan bermanfaat.
. بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْم. وَنَفَعَنابه وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأٓيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم. فتقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ تعالى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ البَرُّ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ. و الحمد للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Posting Komentar untuk "Ruh Indonesia Adalah Santri"