“Keputusannya tidak bisa diganggu gugat dalam hal mendidik anak. Jiwa dan hartanya dikorbankan demi anak anaknya untuk bisa menikmati pendidikan.”
Nama Nyai Solichah mungkin jarang kita mendengarnya, utamanya di kalangan generasi sekarang maupun kalangan santri. Jasanya yang besar dan kesuksesannya dalam menghantarkan anak anaknya seakan tenggelam. Jika mengingat nama suaminya, Kiai Wahid Hasyim, mertuanya, Hadratu Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, ayahnya sendiri Kiai Bisri dan anak anaknya seperti Gus Dur dan Gus Sholah siapa tak mengenalnya. Sesungguhnya, beliau yang menghantarkan anak-anaknya menjadi orang yang luar biasa dalam hidupnya. Prestasi membanggakan dari anaknya secara tak langsung mewakilinya. Dalam organisasi Fatayat namanya terukir indah, maklum beliau aktivis di sana.
Setelah KH. A. Wahid Hasyim, sang suami meninggalkan Nyai Solichah beserta anak-anaknya. Beliau mengemban sebuah tanggung jawab maha berat, yakni harus mendidik dan membesarkan anak-anaknya menjadi orang hebat seperti sang suami dan keluarga besarnya. Syukur dapat melampui mereka di kemudian hari. Pesan dari suaminya untuk membesarkan dan mendidik anak benar dijalankan dengan sungguh-sungguh. Menjalankan hal demikian bagi seorang diri, tentu bukan persoalan ringan dan mudah, bukan?
Janda yang memiliki beberapa anak dan tinggal di Ibu Kota, untuk sekedar bertahan hidup apalagi hingga mampu membiayai kebutuhan anaknya jelas membutuhkan kerja ekstra. Apalagi anak-anaknya masih harus belajar di sekolah dan pondok. Walaupun tergolong dari keluarga besar, mantan Ibu Menteri, anak pembesar NU, beliau tak silau dan membuatnya menerima begitu saja ajakan keluarganya untuk pulang dan menetap di Jombang, baik di Denanyar maupun Tebuireng yang merupakan keluarga besarnya. Tinggal memilih mau di mana, keluarga besarnya membuka pintu selebar-lebarnya. Hidup berdekatan dengan mertua sepertinya kurang berkenan baginya walaupun kebutuhan dan tugasnya semakin ringan, terbantu. Memilih tinggal di ibu kota, di mana kehidupan lebih keras dan kejam menjadi pilihannya. Hal demikian seperti menjadi tantangan yang menarik baginya. Tidak mau menerima ajakan keluarga besarnya bukan berarti Nyai Solichah membangkang atau tidak patuh. Semangat mandiri, kerja keras, dan mewujudkan mimpinya di pegang erat. Selain memang ingin mewujudkan mimpi sang suami yang telah pergi lebih dahulu ke alam keabadian. Tugas mendidik dan merawat anak merupakan tugas mulia yang wajib dilakukan olehnya. Niatnya mendidik anak benar dijalani sungguhan. Sesibuk apapun dan sepadat apapun jadwal tak boleh mengurangi rasa tanggung jawab kepada anak. Memang benar. Anak adalah amanah Allah yang harus diurus hingga dewasa dengan sebaik-baiknya. Kalau perlu orang tua juga harus mau tirakat khusus.
Dalam masyarakat pesantren istilah tirakat sangat populer. Konon, Hadratu Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari mertua Nyai Solichah, semasa hidupnya pernah tirakat khusus selama tiga tahun, satu tahun diperuntukkan untuk keluarganya, kemudian pondoknya “Pesantren Tebuireng” dan terakhir santrinya. Semoga kita termasuk santrinya baik yang pernah menyantri di pesantren Tebuireng maupun yang aktif di NU, sebuah organisasi yang beliau dirikan bersama para ulama. Begitupun dengan suaminya sendiri, KH. A. Wahid Hasyim, selain ahli tirakat, kutu buku, dan aktivis santri, beliau juga intelektual pesantren yang amal sosialnya kepada bangsa dan umat Islam Indonesia tak sedikit. Layak dijadikan inspirasi bagi generasi muda bangsa ini, utamanya kader pesantren. Jika kita tidak mau ikut dan mendekat dengan ulama, tentu amat merugi. Ulama selain pewaris nabi merupakan obor kehidupan bagi kita semua.
Dilihat dari keluarga sang suami Nyai Solichah, mereka merupakan orang hebat semua. Sedangkan dengan garis nasabnya, beliau merupakan putri ulama besar, KH. Bisri Syansuri, Denanyar Jombang yang masih santri Kiai Hasyim semasa di Pesantren Tebuireng bersama Kiai Wahab Hasbullah. Memiliki darah biru memang menguntungkan, namun juga mengandung beban yang tak ringan. Kelak, putra putrinya salah satunya harus menjadi generasi yang dapat diandalkan, tentunya muncul dalam angannya.
Sosok ibunda Gus Dur dan Gus Sholah adalah seorang perempuan yang menurut saya sangat hebat! Terlahir dari keluarga santri, perjuangan hidupnya yang sangat keras mampu menghantarkan kesemua anaknya menjadi orang hebat. Padahal, tidak didampingi suaminya, KH. A. Wahid Hasyim, yang meninggal lebih dahulu akibat kecelakaan mobil yang ditumpangi bersama anak pertamanya, Gus Dur, di Cimidi, Jawa Barat. Berjuang sendirian dalam membesarkan anaknya, seperti Gus Dur, Gus Sholah, dan adiknya adalah hal yang super berat. Benar tak sia-sia, anaknya terbukti menjadi orang hebat semua, tentu menjadi kebahagiaan tersendiri. Salah seorang anaknya di antaranya menjadi orang pertama dari kalangan santri yang menjadi presiden. Kemudian menjadi kreator peradaban pesantren, dan lain sebagainya yang hebat sesuai bidang keilmuan yang dimilikinya. Tak mungkin, jika peran ibunya sangat sedikit. Prestasi Nyai Solichah inilah yang patut dimunculkan untuk memberikan inspirasi kepada kaum santriwati di mana pun berada. Bisa juga Anda perempuan hebat yang aktif di muslimat atau bagi Anda para calon ibu.
Terus berjuang tanpa mengenal lelah dan mengeluh menjadi prinsipnya. Perempuan hebat yang terlahir dari kalangan pesantren sebenarnya tidak sedikit. Sebelumnya kisah Nyai Khoiriyah, mbakyu suami Nyai solichah, sudah dimunculkan. Melihat sosok Nyai Solichah perlu dilihat dari kaca mata yang lebih lebar, bukan hanya karena beliau sukses semata mengandalkan nasabnya. Terlalu eman, dan berkesimpulan cepat. Apa sih, yang menjadi kebesaran dari Nyai Solicah sehingga layak kita gali sedikit demi sedikit?
Sejak kecil Nyai Solichah dipanggil dengan sebutan Munawarah. Berganti nama setelah menikah dengan kiai wahid dan tinggal di Tebuireng. Perempuan cantik asal Pesantren Denanyar ini lahir pada 11 Oktober 1922. Kedua orangtuanya, yakni KH. Bisri Syansuri dan Nyai Khadijah merupakan tokoh utama di Pesantren Denanyar. Keduanya berlatarbelakang keluarga santri. Diantara saudara Nyonya Wahid ini, Abdullah Ahmad, Ahmad Hubbi Athoillah, Muashomah, Muslihatin, Munawaroh Musyarofah, Sholihun, Abdul Aziz, M. Shohib, dan Hafidz.
Nyai Solichah belajar dasar agama di lembaga pendidikan milik orangtuanya, Pesantren Denanyar Jombang. Diantara ilmu yang dipelajari, mencakup Ilmu Al Qur an, Hadis, Tajwid, Nahwu, Shorof, Fikih, dan lainnya. Selain itu juga menimba ilmu langsung kepada ayah dan ibunya. Entah untuk mengulang hasil belajarnya maupun menambah pelajaran. Orangtuanya sangat menyayanginya. Hidupnya dalam pengawasan orang tua. Lingkungannya yang agamis ikut serta membentuk karakter dan pribadinya. Hingga menjelang usia dewasa, waktunya banyak dihabiskan di Denanyar.
Setelah dewasa Nyai Solichah ikut tradisi kaum pesantren, yakni menerima sistem perjodohan antar anak kiai, demi keberlangsungan masyarakat pesantren. Aslinya beliau dan keluarganya kurang begitu menerima. Karena yang menjodohkan Guru Besar ulama Jawa, Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari, apalah daya untuk menolaknya. Beliau dijodohkan dengan Abdurrahim, putra kiai Cholil Singosari malang. Guru Kiai Bisri di Pesantren Tebuireng inilah yang menikahkan juga. Nyai Solichah menikah dibulan Rajab bulan Sya’ban kemudian suaminya meninggal dunia. Begitu singkatnya bahtera rumah tangga yang dibangunnya.
Setelah menikah Nyai Solichah tak langsung mau menerima. Sang suami pun merasa tak keberatan, sembari menunggu menerima meminta izin kepada Kiai Bisri untuk menyantri di Jawa tengah, belum sempat apa-apa dan pergi menyantri, beberapa waktu kemudian terdengar kabar Abdurahim meninggal. Nyai Solichah tetap tenang dan tegar. Menerima dengan ikhlas. Pernikahan yang terjadi belum dapat dirasakan sang suami sudah pergi.
Sebagai perempuan muda, Nyai Solicah memiliki semangat belajar tinggi. Karakternya sebagai santri tumbuh kuat dalam dirinya. Tak disangka-sangka, Solichah remaja dilirik oleh Kiai Muda yang saat itu sedang naik daun. Bukan saja karena nasabnya, intelektualnya juga karena kesempurnaan pola piker yang dimiliki. Abdul Wahid Hasyim, putra Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari benar benar jatuh hati kepadanya.
Setelah pertemuan pertama dan mengenali orangtuanya tanpa ragu pun mendatangi rumah Kiai Bisri untuk menyampaikan maksudnya, meminang putrinya. Rasa tidak terduga pun muncul diantara mereka. Karena rekam jejak dan mengenal baik si calon suami hubungan mereka pun segera mendapatkan persetujuan. Mereka tak berpacaran, berproses lama-lama yang kemudian tidak jadi, layaknya anak muda-mudi sekarang. Jika suka perempuan, tak punya nyali untuk menemui calon mertua, karena takut dengan beragam alasan.
Pernikahan Nyai Solichah dengan Kiai Wahid tak langsung dilaksanakan, karena waktunya bertepatan dengan datangnya Bulan Ramadhan. Pada 10 Syawal 1356 bertepatan dengan tahun 1938 baru bisa dilangsungkan. Setelah menikah dengan Kiai Wahid Hasyim, Nyai Solichah diboyong ke Pesantren Tebuireng dan tinggal bersama keluarga besar Kiai Hasyim. Suaminya merupakan tokoh perjuangan. Seringkali mendapatkan tugas mengganti ayahnya ke luar rumah, tak jarang juga mengajar para santri Tebuireng.
Selama tinggal di Tebuireng, mutlak Nyai solichah sibuk mengurusui urusan keluarga Tebuireng. Kesehariannya ditemani saudari suaminya, Neng Abidah. Maklum tamu yang datang ke ndalem Tebuireng amat banyak, untuk menyuguhkan minuman dan hidangan butuh tambahan tenaga. Beliaupun ikut membantu melayani tamu. Selain itu banyak menambah pendalaman pengetahuan yang dimiliki.
Suaminya kaya akan buku bacaan berbagai bahasa. Inilah yang membuatnya merasa perlu belajar lagi. Mempelajari ilmu latin dan pengembangan bahasa dilakukan. Suaminya ternyata mendukungnya. Jika di Denanyar belajar apa saja dengan huruf pegon di Tebuireng belajar apa saja berbahasa apa saja tersedia.
Tinggal serumah bareng mertua, lama-lama rasa sungkan tiba. Sebuah kewajaran yang hampir selalu dijumpai, bagi pasangan muda yang baru menikah. Hidup bersama mertua wajar menemukan kejenuhan. Selain susah mengembangkan diri untuk hidup mandiri dan tidak luas bergerak juga menjadi alasannya. Beberapa bulan kemudian, dari pernikahan Nyai Solichah dan Kiai Wahid, dianugerahi seorang anak. Putra pertama mereka dilahirkan di Denanyar. Selanjutnya dibawa ke Tebuireng, menempati Ndalem kulon (rumah barat). Dari Ndalem kasepuhan Tebuireng ke Barat beberapa meter.
Rumah baru dan teman baru si kecil membawa kebahagiaan tersendiri bagi Nyai Solichah. Mulailah aktivitas diluar rumah, dijalani tanpa ada hambatan moral. Selain mengurus dan mendidik anak, beliau aktif mengikuti pengajian Muslimatan. Saat itu masih bernama NOM. Menambah kegiatan diluar rumah bagi seorang ibu merupakan hal yang tak ringan. Harus pandai membagi waktu. Ini, patut di contoh bagi perempuan pesantren, untuk turut serta aktif di kegiatan muslimatan. Jadi kegiatan seorang ibu di dalam rumah tak mengalami kejenuhan dan menambah teman nan pengetahuan.
Selain itu, Nyai Silichah juga membuka warung kecil-kecilan, kantin untuk para santri. Kantin yang terletak di belakang rumahnya ramai dikunjungi para santri. Hasilnya sedikit menambah keuntungan dan dapat ditabung. Kegiatannya berlangsung hingga menjelang Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942.
Kedatangan Jepang mengambil kekuasaan dari Belanda membuat Nyai Solichah tidak bisa melepaskan diri dari perjuangan. Meskipun beliau adalah perempuan, tetap ikut membantu perjuangan. Beliau ikut kegiatan yang diterapkan Jepang, yakni Fujinkai. Kegiatannya bernyanyi, belajar bahasa jepang dan membuat perban untuk P3K. Setelah masa Jepang berakhir, beliau mulai aktif kembali di kegiatan Muslimatan. Peranannya amat berharga, selain masih amat sedikit yang ikut tergerak, juga jarang perempuan pesantren yang melek huruf saat itu.
Suaminya yang sibuk dengan urusan bangsa dan umat, membautnya harus ikut pindah ke rumah di Jakarta pada tahun 1944. Dimana suaminya terpilih menjadi anggota legislatif. Enam bulan kemudian balik ke Jombang karena Kiai Hasyim menyuruh kiai Wahid untuk membantu mengurus pondok. Kondisi bangsa yang benar-benar belum stabil maka amat wajar jika kehidupannya belum berjalan normal.
Selama kondisi masih perang, Nyai Solichah aktif membantu para pejuang. Urusan dapur umum para pejuang kemerdekaan tak lepas darinya, khususnya yang berada di kawasan Pesantren Tebuireng. Markas Hizbullah juga ada didekat Pesantren Tebuireng. Mengalami masa perjuangan mengusir penjajah membuatnya dapat merasakan betapa berharganya hidup di negeri merdeka. Apapun dikorbankan demi membela negara.
Pada suatu hari beliau pernah menyamar menjadi pembantu saat operasi pasukan Jepang di Tebuireng. Dimana, Ia ikut menyembunyikan semua baju yang mirip dengan tentara. Sejak Januari 1950 ketika Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Indonesia. Sang suami diangkat menjadi Menteri Agama Republik Indonesia Serikat (RIS). Hidup bersama sang suami yang benar benar membuatnya nyaman dan tenang, hanya sebentar dirasakan. Jika sebelumnya hidup dalam masa perjuangan suami sering banyak bersembunyi diluar dan ikut berjuang di medan perang, kini tak lama kemudian hidup dalam kebersamaan saban waktu dapat dinikmati.
Rupanya suratan takdir Tuhan menggariskan berbeda, Kiai Wahid Hasyim mengalami kecelakaan. Tak pelak, membuatnya hancur berkeping. Suami yang begitu beliau cintai dan pemimpin keluarga pergi untuk selamanya. Peristiwa kecelakaan mobil itu terjadi di Jawa Barat. Tetap tegar dan membangun semangat diri dilakukan. Dalam diri Nyai Solichah memilIki cita-cita besar, yang sudah tentu membutuhkan kerja keras.
Dalam sehari-hari, di sela-sela kesibukannya mengurusi keluarga, Nyai Solihah juga menyempatkan diri untuk bekerja diluar rumah. Kerja serabutan pun dijalani demi memperoleh biaya hidup. Seperti, jualan beras, mobil bekas, dan lainnya. Semua dikerjakan dengan ikhlas, tanpa merasa berkecil hati dan mengeluh. Hanya dengan cara itu anak anaknya dapat menikmati belajarnya dengan tenang dan urusan dapur tetap ngebul.
Belajar bertahan hidup dengan kemampuan yang dimiliki memang harus dilakukan oleh siapapun. Sudah bukan menjadi rahasia umum, jika terlahir dari keluarga mapan dan terhormat terdengar suara nyaring sebuah adagium. “Tak perlu kerja keras seseorang cukup hidup santai menikmati semuanya.” Warisan harta kalau tak bisa mengelola dan main jual saja, tentu taka da yang bisa ia dapatkan, kecuali kepailitan. Bagi Nyai Solichah hal tersebut tidak masuk dalam kamusnya. Terus bekerja keras sembari memohon pertolongan Allah menjadi modal berharga.
Hidup di Ibukota, jakarta membuat Nyai Solichah tergerak hatinya untuk aktif dalam pergerakan sosial. Beliau ikut menghidupkan dan membesarkan Muslimat NU Wilayah Jakarta. Pengalamannya selama di Tebuireng Jombang menjadi bekal di kemudian hari. Seiring dengan berjalannya waktu, kegiatan-kegiatan itu ikut serta membesarkan nama beliau. Pergaulan sosialnya dengan para tokoh nasional dari beragam kalangan, baik nasionalis maupun agamis amat luwes. Karena memang Sudah terjalin lama semasa sang suami hidup.
Peninggalan relasi dan jaringan yang luas dari Kiai Wahid menjadi modal penting juga. Faktor inilah yang membuat beliau terpilih menjadi anggota DPRD mewakili NU, kemudian menjadi anggota DPR Gotong Royong mewakili partai yang sama. Jam terbangnya mulai sibuk di luar rumah, tetapi tak mengurangi tanggungjawabnya mendidik anak. Jika waktu reses atau libur seringkali mengunjungi Jombang.
Selain itu, beliau tak mau membedakan yang ditemui. Masyarakat dari lapisan atas hingga lapisan menengah kebawah bisa saja menemui beliau. Sejak NU melebur dengan PPP beliau masih aktif menjadi politisi, tapi tak terlalu kentara. Beliau memang kurang suka menonjolkan diri sebagai politisi. Menurutnya, bermain di panggung politik adalah semata-mata untuk niat beribadah bukan mencapai kekuasaan tertentu. Sosoknya pun lebih kental sebagai seorang aktivis muslimat ketimbang politisi.
Posisi beliau sebagai politisi memang untuk menarik gerbong kaum perempuan di muslimat NU. Kegiatan sosialnya di NU sudah mendarah daging. Menurut beliau, jika segala urusan sudah menyangkut NU, maka akan menyerahkan segala milik beliau. Kata beliau darahnya berwana hijau selayaknya lambang muslimat (baca “Muslimah di Garis Depan, Sebuah Biografi).
Pada waktu Muktamar NU di Purwokerto, sang mertua, Kiai Hasyim memberikan wejangan kepada beliau untuk tidak menjabat sebagai ketua Muslimat NU. Walaupun demikian, beliau tetap aktif dan memberikan kontribusi di NU. Mungkin saja, Kiai Hasyim beranggapan bahwa beliau belum matang dan siap. Sebuah organisasi muslimat yang awalnya bernama NOM itu tak bisa ditinggalkan. Di situlah tempat Nyai Solichah menyalurkan ide-ide perjuangan. Baginya aktif di Muslimat NU bukan untuk mencari jabatan atau kepentingan lainnya, tetapi semata-mata ibadah dan mengabdi.
Seiring dengan berjalannya waktu, karirnya terus naik daun, sehingga mulai konggres ke-4 hingga ke-9 beliau menjabat posisi strategis. Bahkan posisi-posisi it uterus beliau jabat hingga kongres ke-11 dan 12. Lebih dari 20 tahun lamannya mengabdikan diri di muslimat NU, bahkan bisa dikatakan sepanjang hayatnya.
Terlibat Penumpasan PKI
Selama aktif di NU, Nyai Solihah tulus mengabdikan dirinya. Ketulusannya dalam mengabdi dan pengalamann beliau dalam berorganisasi menjadikan beliau kaya akan pengalaman. Sedikit perempuan yang mampu menjadi perempuan hebat karena kerja keras di zaman beliau. Yang masih terekam dalam memori publik mengenai kiprah Nyai Solichah di Muslimat NU adalah saat di mana beliau terlibat dalam penumpasan gerakan PKI.
Sebagai tokoh perempuan yang dekat dengan orang nomor satu dan pejabat di bawahnya, serta perwakilan NU yang berada di garis terdepan, beliau tak tahan jika negaranya di obok-obok oleh mereka yang mencoba berbuat tak pantas. Jika dirunut kemari saat kasus PKI mencuat kembali, pendapat beliau seakan kontras dengan anak lanang beliau, Gus Dur, tapi sama diamini oleh sikap Gus Sholah. Lagi-lagi perbedaan di antara ibu, bapak, dan anak anaknya, sudah biasa.
Mendamaikan Dua Kubu NU
Selanjutnya, beliau juga ikut serta mensosialisasikan program keluarga berencana. Gerbongnya sebagai wadah kaum perempuan membuat pemerintah beriringan menggandeng beliau. Terakhir, Nyai Solichah ikut mendamaikan kelompok NU yang bersebrangan. Dalam perjalanannya, di tubuh NU pernah mencuat dua kubu, kubu Cipete dan Kubu Sitobondo. Tajamnya perbedaan menyebabkan NU terbelah menjadi dua kelompok besar.
Munculnya kedua belah kubu tersebut membuat beliau gusar. Amat disayangkan jika NU pecah. Akhirnya beliau mendatangi kedua kubu tersebut. Pertemuan pun terwujud dirumah Kiai Hasyim Latif, karena di Matraman kedua belah pihak tidak mau hadir. Keduanya pun lantas mau bertemu dan tidak memaksakan kehendaknya. Konon saat anaknya, Gus Dur bersebrangan politik dengan pamannya, KH. Yusuf Hasyim, Nyai Solichah juga yang mendamaikan. Keduanya hampir tak bisa akur dalam hal politik. Bagaiamanapun juga Kiai Yusuf Hasyim sering diminta untuk mengalah kepada Gus Dur oleh Nyai Solichah.
Perbedaan politik wajar, dan hubungan keluarga tetap akur. Bani Hasyim tetap kuat dan solid. Nah, ini kadangkala sering dimaknai berbeda oleh orang yang tak tahu. Dalam hal ini, saya hanya mendengar saja bukan sok tahu persisnya seperti apa. Saya melihatnya, Demokrasi di keluarga Tebuireng memang berjalan dinamis dari dahulu. Tokohnya banyak yang ikut partai yang beda-beda. Namun, kalau sudah urusan keluarga atau ketebuirengan semuanya sama mau memikul bersama, indah bukan?
Peristiwa kubu-kubuan di tubuh NU kini terjadi lagi di muktamar 33 di Jombang. Sayang, hingga hari ini memakan waktu lama. Saling kukuh berjalan di tempatnya masing masing. Hilangnya tokoh yang dapat merangkul kesemuanya, menjadikan NU benar-benar krisis tokoh kharismatik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Tentunya tak ada yang menginginkan hal ini. Lantas, apakah harus sampai menunggu munculnya tokoh sekaliber Nyai Solichah Wahid?
Sukses Mendidik Anak
“Bagi Nyai Solichah, jualan gado gado pun akan dilakukan, asalkan anak-anak beliau bisa sekolah,” tutur Bu Nyai Aisyah, putri tertua beliau. Anak-anak beliau mendapatkan didikan langsung dari beliau. Pendidikan menjadi jalur yang paling penting yang harus diambil. Meski demikian, kebebasan memilih sekolah menjadi hak sepenuhnya anak. Gus Dur, Gus Sholah, Bu Aisyah, Gus Umar, Bu Lili Chodijah, dan Gus Im kesemuanya sekolah formal di luar lembaga pendidikan pesantren. Tentu sangat aneh, bukan keluarga kiai tak nyantri. Walaupun demikian, anaknya tetap belajar ilmu agama dengan cara mendatangkan guru alumnus pesantren ke rumahnya. Menurutnya, pilihan sekolah anaknya merupakan pilihan sendiri, maka ia tidak ingin memaksanya.
Namun, dari lima anak itu, hanya Gus Dur di tengah perjalanan membelok, masuk ke pendidikan pesantren, yaitu Pesantren krapyak Jogjakarta dan Api Tegalrejo Magelang, mungkin juga pesantren lain. Selanjutnya Gus Dur mengembara ke luar negeri.
Selama di dalam rumah, semua anak beliau diajarkan kedisiplinan, perbedaan, tanggungjawab, dan lain sebagainya. Kegiatan membaca Al Quran bagi anak beliau tak boleh ditinggalkan.
Baik hidup di Jombang maupun di jakarta, rumah Nyai Solichah selalu ramai dikunjungi banyak tokoh republik ini, baik untuk konsolidasi maupun diskusi, atau sekedar diskusi biasa. Obrolan politik misalnya seakan menjadi menu sehari-hari. Wajar jika Teman teman beliau sampai bilang, “Kalau ayam di rumahmu bisa ngomong pasti dia ikut ngomongin politik”.
Tentunya menjadikan pendidikan politik gratis bagi para anak Kiai Wahid dan Nyai Solichah. Terbukanya ruang diskusi di antara orangtua dan anak dalam menjunjung perbedaan dan penghormatan, membuat Gus Dur beserta adik adiknya sering debat terbuka secara sehat. Tak hanya di ruang keluarga, dalam ruang publik juga biasa dilakukan, karena sudah terbiasa.
Pernah suatu hari Gus Dur dan Gus Sholah, kakak beradik ini menunjukan debat tulisan dengan saut-sautan tulisan di media nasional mengenai suatu masalah. Tak hanya itu, banyak hal, dengan saudara lainnya juga banyak, hanya saja tak terekpos secara luas. Tapi hal ini terkadang kurang disikapi sebagian orang di lingkup public sebagai sebuah pembelajaran yang mencerdaskan. Malah, dianggapnya mereka sedang bermusuhan dan tidak bisa kompromi.
Yang membuat banyak orang salut adalah Nyai solichah yang berhasil menanamkan sikap keberanian untuk berbeda dan tetap bersaudara. Hal itu dapat terjaga kuat, minimal di lingkungan keluarga.
Kesemua putra-putrinya memiliki kelebihan masing masing. Dan kemampuan yang dimiliki juga beragam. Misalnya Gus Dur. Siapa yang tak mengenalnya, seorang tokoh yang diagungkan banyak orang dari berbagai kalangan. Presiden pertama dari kalangan santri ini, semasa kecil merupaan anak yang dianggap nakal dan suka melanggar aturan. Namun, sejak kecil sudah memiliki kebiasaan membaca buku. Buku apa saja dilahapnya. Begitupun dengan Gus Sholah dan Gus Im, bisa menjadi orang-orang yang memiliki pengaruh besar di masyarakat.
Perjuangan, keberanian, dan kesuksesan Nyai Solichah Wahid dalam mendidik dan membesarkan anak-anak beliau, menarik untuk dijadikan inspirasi. Andai dibuatkan novel mengenai Ibu Nyai Solichah, pastilah menarik dan laku dipasaran. Makamnya di Tebuireng berdekatan dengan Suaminya, Kiai Wahid Hasyim, Mertuanya, Hadratussyaikh Kiai Haji M. Hasyim Asy ari, dan anak lanang beliau, KH. Abdurrahman Wahid (tokoh yang banyak diagungkan oleh anak-anak muda NU dan juga generasi muda bangsa ini). Untuk mengenang beliau, mari mentransfer bacaan al Fatihah kepada beliau, dan tak lupa memetik spirit perjuangannya untuk diterapkan dalam kehidupan kita secara pribadi maupun dalam bermasyarakat. Al Fatihah!
sumber http://tebuireng.org
Nama Nyai Solichah mungkin jarang kita mendengarnya, utamanya di kalangan generasi sekarang maupun kalangan santri. Jasanya yang besar dan kesuksesannya dalam menghantarkan anak anaknya seakan tenggelam. Jika mengingat nama suaminya, Kiai Wahid Hasyim, mertuanya, Hadratu Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, ayahnya sendiri Kiai Bisri dan anak anaknya seperti Gus Dur dan Gus Sholah siapa tak mengenalnya. Sesungguhnya, beliau yang menghantarkan anak-anaknya menjadi orang yang luar biasa dalam hidupnya. Prestasi membanggakan dari anaknya secara tak langsung mewakilinya. Dalam organisasi Fatayat namanya terukir indah, maklum beliau aktivis di sana.
Nyai Solichah Wahid Ibunda dari Para Tokoh Islam |
Setelah KH. A. Wahid Hasyim, sang suami meninggalkan Nyai Solichah beserta anak-anaknya. Beliau mengemban sebuah tanggung jawab maha berat, yakni harus mendidik dan membesarkan anak-anaknya menjadi orang hebat seperti sang suami dan keluarga besarnya. Syukur dapat melampui mereka di kemudian hari. Pesan dari suaminya untuk membesarkan dan mendidik anak benar dijalankan dengan sungguh-sungguh. Menjalankan hal demikian bagi seorang diri, tentu bukan persoalan ringan dan mudah, bukan?
Janda yang memiliki beberapa anak dan tinggal di Ibu Kota, untuk sekedar bertahan hidup apalagi hingga mampu membiayai kebutuhan anaknya jelas membutuhkan kerja ekstra. Apalagi anak-anaknya masih harus belajar di sekolah dan pondok. Walaupun tergolong dari keluarga besar, mantan Ibu Menteri, anak pembesar NU, beliau tak silau dan membuatnya menerima begitu saja ajakan keluarganya untuk pulang dan menetap di Jombang, baik di Denanyar maupun Tebuireng yang merupakan keluarga besarnya. Tinggal memilih mau di mana, keluarga besarnya membuka pintu selebar-lebarnya. Hidup berdekatan dengan mertua sepertinya kurang berkenan baginya walaupun kebutuhan dan tugasnya semakin ringan, terbantu. Memilih tinggal di ibu kota, di mana kehidupan lebih keras dan kejam menjadi pilihannya. Hal demikian seperti menjadi tantangan yang menarik baginya. Tidak mau menerima ajakan keluarga besarnya bukan berarti Nyai Solichah membangkang atau tidak patuh. Semangat mandiri, kerja keras, dan mewujudkan mimpinya di pegang erat. Selain memang ingin mewujudkan mimpi sang suami yang telah pergi lebih dahulu ke alam keabadian. Tugas mendidik dan merawat anak merupakan tugas mulia yang wajib dilakukan olehnya. Niatnya mendidik anak benar dijalani sungguhan. Sesibuk apapun dan sepadat apapun jadwal tak boleh mengurangi rasa tanggung jawab kepada anak. Memang benar. Anak adalah amanah Allah yang harus diurus hingga dewasa dengan sebaik-baiknya. Kalau perlu orang tua juga harus mau tirakat khusus.
Dalam masyarakat pesantren istilah tirakat sangat populer. Konon, Hadratu Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari mertua Nyai Solichah, semasa hidupnya pernah tirakat khusus selama tiga tahun, satu tahun diperuntukkan untuk keluarganya, kemudian pondoknya “Pesantren Tebuireng” dan terakhir santrinya. Semoga kita termasuk santrinya baik yang pernah menyantri di pesantren Tebuireng maupun yang aktif di NU, sebuah organisasi yang beliau dirikan bersama para ulama. Begitupun dengan suaminya sendiri, KH. A. Wahid Hasyim, selain ahli tirakat, kutu buku, dan aktivis santri, beliau juga intelektual pesantren yang amal sosialnya kepada bangsa dan umat Islam Indonesia tak sedikit. Layak dijadikan inspirasi bagi generasi muda bangsa ini, utamanya kader pesantren. Jika kita tidak mau ikut dan mendekat dengan ulama, tentu amat merugi. Ulama selain pewaris nabi merupakan obor kehidupan bagi kita semua.
Dilihat dari keluarga sang suami Nyai Solichah, mereka merupakan orang hebat semua. Sedangkan dengan garis nasabnya, beliau merupakan putri ulama besar, KH. Bisri Syansuri, Denanyar Jombang yang masih santri Kiai Hasyim semasa di Pesantren Tebuireng bersama Kiai Wahab Hasbullah. Memiliki darah biru memang menguntungkan, namun juga mengandung beban yang tak ringan. Kelak, putra putrinya salah satunya harus menjadi generasi yang dapat diandalkan, tentunya muncul dalam angannya.
Sosok ibunda Gus Dur dan Gus Sholah adalah seorang perempuan yang menurut saya sangat hebat! Terlahir dari keluarga santri, perjuangan hidupnya yang sangat keras mampu menghantarkan kesemua anaknya menjadi orang hebat. Padahal, tidak didampingi suaminya, KH. A. Wahid Hasyim, yang meninggal lebih dahulu akibat kecelakaan mobil yang ditumpangi bersama anak pertamanya, Gus Dur, di Cimidi, Jawa Barat. Berjuang sendirian dalam membesarkan anaknya, seperti Gus Dur, Gus Sholah, dan adiknya adalah hal yang super berat. Benar tak sia-sia, anaknya terbukti menjadi orang hebat semua, tentu menjadi kebahagiaan tersendiri. Salah seorang anaknya di antaranya menjadi orang pertama dari kalangan santri yang menjadi presiden. Kemudian menjadi kreator peradaban pesantren, dan lain sebagainya yang hebat sesuai bidang keilmuan yang dimilikinya. Tak mungkin, jika peran ibunya sangat sedikit. Prestasi Nyai Solichah inilah yang patut dimunculkan untuk memberikan inspirasi kepada kaum santriwati di mana pun berada. Bisa juga Anda perempuan hebat yang aktif di muslimat atau bagi Anda para calon ibu.
Terus berjuang tanpa mengenal lelah dan mengeluh menjadi prinsipnya. Perempuan hebat yang terlahir dari kalangan pesantren sebenarnya tidak sedikit. Sebelumnya kisah Nyai Khoiriyah, mbakyu suami Nyai solichah, sudah dimunculkan. Melihat sosok Nyai Solichah perlu dilihat dari kaca mata yang lebih lebar, bukan hanya karena beliau sukses semata mengandalkan nasabnya. Terlalu eman, dan berkesimpulan cepat. Apa sih, yang menjadi kebesaran dari Nyai Solicah sehingga layak kita gali sedikit demi sedikit?
Sejak kecil Nyai Solichah dipanggil dengan sebutan Munawarah. Berganti nama setelah menikah dengan kiai wahid dan tinggal di Tebuireng. Perempuan cantik asal Pesantren Denanyar ini lahir pada 11 Oktober 1922. Kedua orangtuanya, yakni KH. Bisri Syansuri dan Nyai Khadijah merupakan tokoh utama di Pesantren Denanyar. Keduanya berlatarbelakang keluarga santri. Diantara saudara Nyonya Wahid ini, Abdullah Ahmad, Ahmad Hubbi Athoillah, Muashomah, Muslihatin, Munawaroh Musyarofah, Sholihun, Abdul Aziz, M. Shohib, dan Hafidz.
Nyai Solichah belajar dasar agama di lembaga pendidikan milik orangtuanya, Pesantren Denanyar Jombang. Diantara ilmu yang dipelajari, mencakup Ilmu Al Qur an, Hadis, Tajwid, Nahwu, Shorof, Fikih, dan lainnya. Selain itu juga menimba ilmu langsung kepada ayah dan ibunya. Entah untuk mengulang hasil belajarnya maupun menambah pelajaran. Orangtuanya sangat menyayanginya. Hidupnya dalam pengawasan orang tua. Lingkungannya yang agamis ikut serta membentuk karakter dan pribadinya. Hingga menjelang usia dewasa, waktunya banyak dihabiskan di Denanyar.
Setelah dewasa Nyai Solichah ikut tradisi kaum pesantren, yakni menerima sistem perjodohan antar anak kiai, demi keberlangsungan masyarakat pesantren. Aslinya beliau dan keluarganya kurang begitu menerima. Karena yang menjodohkan Guru Besar ulama Jawa, Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari, apalah daya untuk menolaknya. Beliau dijodohkan dengan Abdurrahim, putra kiai Cholil Singosari malang. Guru Kiai Bisri di Pesantren Tebuireng inilah yang menikahkan juga. Nyai Solichah menikah dibulan Rajab bulan Sya’ban kemudian suaminya meninggal dunia. Begitu singkatnya bahtera rumah tangga yang dibangunnya.
Setelah menikah Nyai Solichah tak langsung mau menerima. Sang suami pun merasa tak keberatan, sembari menunggu menerima meminta izin kepada Kiai Bisri untuk menyantri di Jawa tengah, belum sempat apa-apa dan pergi menyantri, beberapa waktu kemudian terdengar kabar Abdurahim meninggal. Nyai Solichah tetap tenang dan tegar. Menerima dengan ikhlas. Pernikahan yang terjadi belum dapat dirasakan sang suami sudah pergi.
Sebagai perempuan muda, Nyai Solicah memiliki semangat belajar tinggi. Karakternya sebagai santri tumbuh kuat dalam dirinya. Tak disangka-sangka, Solichah remaja dilirik oleh Kiai Muda yang saat itu sedang naik daun. Bukan saja karena nasabnya, intelektualnya juga karena kesempurnaan pola piker yang dimiliki. Abdul Wahid Hasyim, putra Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari benar benar jatuh hati kepadanya.
Setelah pertemuan pertama dan mengenali orangtuanya tanpa ragu pun mendatangi rumah Kiai Bisri untuk menyampaikan maksudnya, meminang putrinya. Rasa tidak terduga pun muncul diantara mereka. Karena rekam jejak dan mengenal baik si calon suami hubungan mereka pun segera mendapatkan persetujuan. Mereka tak berpacaran, berproses lama-lama yang kemudian tidak jadi, layaknya anak muda-mudi sekarang. Jika suka perempuan, tak punya nyali untuk menemui calon mertua, karena takut dengan beragam alasan.
Pernikahan Nyai Solichah dengan Kiai Wahid tak langsung dilaksanakan, karena waktunya bertepatan dengan datangnya Bulan Ramadhan. Pada 10 Syawal 1356 bertepatan dengan tahun 1938 baru bisa dilangsungkan. Setelah menikah dengan Kiai Wahid Hasyim, Nyai Solichah diboyong ke Pesantren Tebuireng dan tinggal bersama keluarga besar Kiai Hasyim. Suaminya merupakan tokoh perjuangan. Seringkali mendapatkan tugas mengganti ayahnya ke luar rumah, tak jarang juga mengajar para santri Tebuireng.
Selama tinggal di Tebuireng, mutlak Nyai solichah sibuk mengurusui urusan keluarga Tebuireng. Kesehariannya ditemani saudari suaminya, Neng Abidah. Maklum tamu yang datang ke ndalem Tebuireng amat banyak, untuk menyuguhkan minuman dan hidangan butuh tambahan tenaga. Beliaupun ikut membantu melayani tamu. Selain itu banyak menambah pendalaman pengetahuan yang dimiliki.
Suaminya kaya akan buku bacaan berbagai bahasa. Inilah yang membuatnya merasa perlu belajar lagi. Mempelajari ilmu latin dan pengembangan bahasa dilakukan. Suaminya ternyata mendukungnya. Jika di Denanyar belajar apa saja dengan huruf pegon di Tebuireng belajar apa saja berbahasa apa saja tersedia.
Tinggal serumah bareng mertua, lama-lama rasa sungkan tiba. Sebuah kewajaran yang hampir selalu dijumpai, bagi pasangan muda yang baru menikah. Hidup bersama mertua wajar menemukan kejenuhan. Selain susah mengembangkan diri untuk hidup mandiri dan tidak luas bergerak juga menjadi alasannya. Beberapa bulan kemudian, dari pernikahan Nyai Solichah dan Kiai Wahid, dianugerahi seorang anak. Putra pertama mereka dilahirkan di Denanyar. Selanjutnya dibawa ke Tebuireng, menempati Ndalem kulon (rumah barat). Dari Ndalem kasepuhan Tebuireng ke Barat beberapa meter.
Rumah baru dan teman baru si kecil membawa kebahagiaan tersendiri bagi Nyai Solichah. Mulailah aktivitas diluar rumah, dijalani tanpa ada hambatan moral. Selain mengurus dan mendidik anak, beliau aktif mengikuti pengajian Muslimatan. Saat itu masih bernama NOM. Menambah kegiatan diluar rumah bagi seorang ibu merupakan hal yang tak ringan. Harus pandai membagi waktu. Ini, patut di contoh bagi perempuan pesantren, untuk turut serta aktif di kegiatan muslimatan. Jadi kegiatan seorang ibu di dalam rumah tak mengalami kejenuhan dan menambah teman nan pengetahuan.
Selain itu, Nyai Silichah juga membuka warung kecil-kecilan, kantin untuk para santri. Kantin yang terletak di belakang rumahnya ramai dikunjungi para santri. Hasilnya sedikit menambah keuntungan dan dapat ditabung. Kegiatannya berlangsung hingga menjelang Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942.
Kedatangan Jepang mengambil kekuasaan dari Belanda membuat Nyai Solichah tidak bisa melepaskan diri dari perjuangan. Meskipun beliau adalah perempuan, tetap ikut membantu perjuangan. Beliau ikut kegiatan yang diterapkan Jepang, yakni Fujinkai. Kegiatannya bernyanyi, belajar bahasa jepang dan membuat perban untuk P3K. Setelah masa Jepang berakhir, beliau mulai aktif kembali di kegiatan Muslimatan. Peranannya amat berharga, selain masih amat sedikit yang ikut tergerak, juga jarang perempuan pesantren yang melek huruf saat itu.
Suaminya yang sibuk dengan urusan bangsa dan umat, membautnya harus ikut pindah ke rumah di Jakarta pada tahun 1944. Dimana suaminya terpilih menjadi anggota legislatif. Enam bulan kemudian balik ke Jombang karena Kiai Hasyim menyuruh kiai Wahid untuk membantu mengurus pondok. Kondisi bangsa yang benar-benar belum stabil maka amat wajar jika kehidupannya belum berjalan normal.
Selama kondisi masih perang, Nyai Solichah aktif membantu para pejuang. Urusan dapur umum para pejuang kemerdekaan tak lepas darinya, khususnya yang berada di kawasan Pesantren Tebuireng. Markas Hizbullah juga ada didekat Pesantren Tebuireng. Mengalami masa perjuangan mengusir penjajah membuatnya dapat merasakan betapa berharganya hidup di negeri merdeka. Apapun dikorbankan demi membela negara.
Pada suatu hari beliau pernah menyamar menjadi pembantu saat operasi pasukan Jepang di Tebuireng. Dimana, Ia ikut menyembunyikan semua baju yang mirip dengan tentara. Sejak Januari 1950 ketika Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Indonesia. Sang suami diangkat menjadi Menteri Agama Republik Indonesia Serikat (RIS). Hidup bersama sang suami yang benar benar membuatnya nyaman dan tenang, hanya sebentar dirasakan. Jika sebelumnya hidup dalam masa perjuangan suami sering banyak bersembunyi diluar dan ikut berjuang di medan perang, kini tak lama kemudian hidup dalam kebersamaan saban waktu dapat dinikmati.
Rupanya suratan takdir Tuhan menggariskan berbeda, Kiai Wahid Hasyim mengalami kecelakaan. Tak pelak, membuatnya hancur berkeping. Suami yang begitu beliau cintai dan pemimpin keluarga pergi untuk selamanya. Peristiwa kecelakaan mobil itu terjadi di Jawa Barat. Tetap tegar dan membangun semangat diri dilakukan. Dalam diri Nyai Solichah memilIki cita-cita besar, yang sudah tentu membutuhkan kerja keras.
Dalam sehari-hari, di sela-sela kesibukannya mengurusi keluarga, Nyai Solihah juga menyempatkan diri untuk bekerja diluar rumah. Kerja serabutan pun dijalani demi memperoleh biaya hidup. Seperti, jualan beras, mobil bekas, dan lainnya. Semua dikerjakan dengan ikhlas, tanpa merasa berkecil hati dan mengeluh. Hanya dengan cara itu anak anaknya dapat menikmati belajarnya dengan tenang dan urusan dapur tetap ngebul.
Belajar bertahan hidup dengan kemampuan yang dimiliki memang harus dilakukan oleh siapapun. Sudah bukan menjadi rahasia umum, jika terlahir dari keluarga mapan dan terhormat terdengar suara nyaring sebuah adagium. “Tak perlu kerja keras seseorang cukup hidup santai menikmati semuanya.” Warisan harta kalau tak bisa mengelola dan main jual saja, tentu taka da yang bisa ia dapatkan, kecuali kepailitan. Bagi Nyai Solichah hal tersebut tidak masuk dalam kamusnya. Terus bekerja keras sembari memohon pertolongan Allah menjadi modal berharga.
Hidup di Ibukota, jakarta membuat Nyai Solichah tergerak hatinya untuk aktif dalam pergerakan sosial. Beliau ikut menghidupkan dan membesarkan Muslimat NU Wilayah Jakarta. Pengalamannya selama di Tebuireng Jombang menjadi bekal di kemudian hari. Seiring dengan berjalannya waktu, kegiatan-kegiatan itu ikut serta membesarkan nama beliau. Pergaulan sosialnya dengan para tokoh nasional dari beragam kalangan, baik nasionalis maupun agamis amat luwes. Karena memang Sudah terjalin lama semasa sang suami hidup.
Peninggalan relasi dan jaringan yang luas dari Kiai Wahid menjadi modal penting juga. Faktor inilah yang membuat beliau terpilih menjadi anggota DPRD mewakili NU, kemudian menjadi anggota DPR Gotong Royong mewakili partai yang sama. Jam terbangnya mulai sibuk di luar rumah, tetapi tak mengurangi tanggungjawabnya mendidik anak. Jika waktu reses atau libur seringkali mengunjungi Jombang.
Selain itu, beliau tak mau membedakan yang ditemui. Masyarakat dari lapisan atas hingga lapisan menengah kebawah bisa saja menemui beliau. Sejak NU melebur dengan PPP beliau masih aktif menjadi politisi, tapi tak terlalu kentara. Beliau memang kurang suka menonjolkan diri sebagai politisi. Menurutnya, bermain di panggung politik adalah semata-mata untuk niat beribadah bukan mencapai kekuasaan tertentu. Sosoknya pun lebih kental sebagai seorang aktivis muslimat ketimbang politisi.
Posisi beliau sebagai politisi memang untuk menarik gerbong kaum perempuan di muslimat NU. Kegiatan sosialnya di NU sudah mendarah daging. Menurut beliau, jika segala urusan sudah menyangkut NU, maka akan menyerahkan segala milik beliau. Kata beliau darahnya berwana hijau selayaknya lambang muslimat (baca “Muslimah di Garis Depan, Sebuah Biografi).
Pada waktu Muktamar NU di Purwokerto, sang mertua, Kiai Hasyim memberikan wejangan kepada beliau untuk tidak menjabat sebagai ketua Muslimat NU. Walaupun demikian, beliau tetap aktif dan memberikan kontribusi di NU. Mungkin saja, Kiai Hasyim beranggapan bahwa beliau belum matang dan siap. Sebuah organisasi muslimat yang awalnya bernama NOM itu tak bisa ditinggalkan. Di situlah tempat Nyai Solichah menyalurkan ide-ide perjuangan. Baginya aktif di Muslimat NU bukan untuk mencari jabatan atau kepentingan lainnya, tetapi semata-mata ibadah dan mengabdi.
Seiring dengan berjalannya waktu, karirnya terus naik daun, sehingga mulai konggres ke-4 hingga ke-9 beliau menjabat posisi strategis. Bahkan posisi-posisi it uterus beliau jabat hingga kongres ke-11 dan 12. Lebih dari 20 tahun lamannya mengabdikan diri di muslimat NU, bahkan bisa dikatakan sepanjang hayatnya.
Terlibat Penumpasan PKI
Selama aktif di NU, Nyai Solihah tulus mengabdikan dirinya. Ketulusannya dalam mengabdi dan pengalamann beliau dalam berorganisasi menjadikan beliau kaya akan pengalaman. Sedikit perempuan yang mampu menjadi perempuan hebat karena kerja keras di zaman beliau. Yang masih terekam dalam memori publik mengenai kiprah Nyai Solichah di Muslimat NU adalah saat di mana beliau terlibat dalam penumpasan gerakan PKI.
Sebagai tokoh perempuan yang dekat dengan orang nomor satu dan pejabat di bawahnya, serta perwakilan NU yang berada di garis terdepan, beliau tak tahan jika negaranya di obok-obok oleh mereka yang mencoba berbuat tak pantas. Jika dirunut kemari saat kasus PKI mencuat kembali, pendapat beliau seakan kontras dengan anak lanang beliau, Gus Dur, tapi sama diamini oleh sikap Gus Sholah. Lagi-lagi perbedaan di antara ibu, bapak, dan anak anaknya, sudah biasa.
Mendamaikan Dua Kubu NU
Selanjutnya, beliau juga ikut serta mensosialisasikan program keluarga berencana. Gerbongnya sebagai wadah kaum perempuan membuat pemerintah beriringan menggandeng beliau. Terakhir, Nyai Solichah ikut mendamaikan kelompok NU yang bersebrangan. Dalam perjalanannya, di tubuh NU pernah mencuat dua kubu, kubu Cipete dan Kubu Sitobondo. Tajamnya perbedaan menyebabkan NU terbelah menjadi dua kelompok besar.
Munculnya kedua belah kubu tersebut membuat beliau gusar. Amat disayangkan jika NU pecah. Akhirnya beliau mendatangi kedua kubu tersebut. Pertemuan pun terwujud dirumah Kiai Hasyim Latif, karena di Matraman kedua belah pihak tidak mau hadir. Keduanya pun lantas mau bertemu dan tidak memaksakan kehendaknya. Konon saat anaknya, Gus Dur bersebrangan politik dengan pamannya, KH. Yusuf Hasyim, Nyai Solichah juga yang mendamaikan. Keduanya hampir tak bisa akur dalam hal politik. Bagaiamanapun juga Kiai Yusuf Hasyim sering diminta untuk mengalah kepada Gus Dur oleh Nyai Solichah.
Perbedaan politik wajar, dan hubungan keluarga tetap akur. Bani Hasyim tetap kuat dan solid. Nah, ini kadangkala sering dimaknai berbeda oleh orang yang tak tahu. Dalam hal ini, saya hanya mendengar saja bukan sok tahu persisnya seperti apa. Saya melihatnya, Demokrasi di keluarga Tebuireng memang berjalan dinamis dari dahulu. Tokohnya banyak yang ikut partai yang beda-beda. Namun, kalau sudah urusan keluarga atau ketebuirengan semuanya sama mau memikul bersama, indah bukan?
Peristiwa kubu-kubuan di tubuh NU kini terjadi lagi di muktamar 33 di Jombang. Sayang, hingga hari ini memakan waktu lama. Saling kukuh berjalan di tempatnya masing masing. Hilangnya tokoh yang dapat merangkul kesemuanya, menjadikan NU benar-benar krisis tokoh kharismatik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Tentunya tak ada yang menginginkan hal ini. Lantas, apakah harus sampai menunggu munculnya tokoh sekaliber Nyai Solichah Wahid?
Sukses Mendidik Anak
“Bagi Nyai Solichah, jualan gado gado pun akan dilakukan, asalkan anak-anak beliau bisa sekolah,” tutur Bu Nyai Aisyah, putri tertua beliau. Anak-anak beliau mendapatkan didikan langsung dari beliau. Pendidikan menjadi jalur yang paling penting yang harus diambil. Meski demikian, kebebasan memilih sekolah menjadi hak sepenuhnya anak. Gus Dur, Gus Sholah, Bu Aisyah, Gus Umar, Bu Lili Chodijah, dan Gus Im kesemuanya sekolah formal di luar lembaga pendidikan pesantren. Tentu sangat aneh, bukan keluarga kiai tak nyantri. Walaupun demikian, anaknya tetap belajar ilmu agama dengan cara mendatangkan guru alumnus pesantren ke rumahnya. Menurutnya, pilihan sekolah anaknya merupakan pilihan sendiri, maka ia tidak ingin memaksanya.
Namun, dari lima anak itu, hanya Gus Dur di tengah perjalanan membelok, masuk ke pendidikan pesantren, yaitu Pesantren krapyak Jogjakarta dan Api Tegalrejo Magelang, mungkin juga pesantren lain. Selanjutnya Gus Dur mengembara ke luar negeri.
Selama di dalam rumah, semua anak beliau diajarkan kedisiplinan, perbedaan, tanggungjawab, dan lain sebagainya. Kegiatan membaca Al Quran bagi anak beliau tak boleh ditinggalkan.
Baik hidup di Jombang maupun di jakarta, rumah Nyai Solichah selalu ramai dikunjungi banyak tokoh republik ini, baik untuk konsolidasi maupun diskusi, atau sekedar diskusi biasa. Obrolan politik misalnya seakan menjadi menu sehari-hari. Wajar jika Teman teman beliau sampai bilang, “Kalau ayam di rumahmu bisa ngomong pasti dia ikut ngomongin politik”.
Tentunya menjadikan pendidikan politik gratis bagi para anak Kiai Wahid dan Nyai Solichah. Terbukanya ruang diskusi di antara orangtua dan anak dalam menjunjung perbedaan dan penghormatan, membuat Gus Dur beserta adik adiknya sering debat terbuka secara sehat. Tak hanya di ruang keluarga, dalam ruang publik juga biasa dilakukan, karena sudah terbiasa.
Pernah suatu hari Gus Dur dan Gus Sholah, kakak beradik ini menunjukan debat tulisan dengan saut-sautan tulisan di media nasional mengenai suatu masalah. Tak hanya itu, banyak hal, dengan saudara lainnya juga banyak, hanya saja tak terekpos secara luas. Tapi hal ini terkadang kurang disikapi sebagian orang di lingkup public sebagai sebuah pembelajaran yang mencerdaskan. Malah, dianggapnya mereka sedang bermusuhan dan tidak bisa kompromi.
Yang membuat banyak orang salut adalah Nyai solichah yang berhasil menanamkan sikap keberanian untuk berbeda dan tetap bersaudara. Hal itu dapat terjaga kuat, minimal di lingkungan keluarga.
Kesemua putra-putrinya memiliki kelebihan masing masing. Dan kemampuan yang dimiliki juga beragam. Misalnya Gus Dur. Siapa yang tak mengenalnya, seorang tokoh yang diagungkan banyak orang dari berbagai kalangan. Presiden pertama dari kalangan santri ini, semasa kecil merupaan anak yang dianggap nakal dan suka melanggar aturan. Namun, sejak kecil sudah memiliki kebiasaan membaca buku. Buku apa saja dilahapnya. Begitupun dengan Gus Sholah dan Gus Im, bisa menjadi orang-orang yang memiliki pengaruh besar di masyarakat.
Perjuangan, keberanian, dan kesuksesan Nyai Solichah Wahid dalam mendidik dan membesarkan anak-anak beliau, menarik untuk dijadikan inspirasi. Andai dibuatkan novel mengenai Ibu Nyai Solichah, pastilah menarik dan laku dipasaran. Makamnya di Tebuireng berdekatan dengan Suaminya, Kiai Wahid Hasyim, Mertuanya, Hadratussyaikh Kiai Haji M. Hasyim Asy ari, dan anak lanang beliau, KH. Abdurrahman Wahid (tokoh yang banyak diagungkan oleh anak-anak muda NU dan juga generasi muda bangsa ini). Untuk mengenang beliau, mari mentransfer bacaan al Fatihah kepada beliau, dan tak lupa memetik spirit perjuangannya untuk diterapkan dalam kehidupan kita secara pribadi maupun dalam bermasyarakat. Al Fatihah!
sumber http://tebuireng.org
Posting Komentar untuk "Nyai Solichah Wahid Ibunda dari Para Tokoh Islam"