Suatu hari (ah… seperti dongeng anak-anak saja)…. Tapi betul koq, kisah ini berawal pada suatu hari di penghujung Juni 2008 yang panas, ketika sang mentari tanpa iba membakar kulitku, hingga peluh bercucuran tanpa ampun, seorang pemuda mendekatiku. Dari penampilannya aku segera dapat menebak, dia seorang mahasiswa. Setelah berbasa-basi agak lama, kami terlibat pembicaraan yang sangat serius.
Entah angin dari mana pembicaraan kami menjurus pada curhat. Ya, sang mahasiswa itu curhat kepada saya, seseorang yang nota bene baru saja dikenalnya. Ingat akan petuah dari leluhur, “Jejering satriya tama, aja golek senenge dewe, ning kudu bisa gawe senenging liyan” (Seorang ksatria jangan mencari kesenangan pribadi, namun harus bisa membuat orang lain bahagia/senang), maka curhatnya saya tanggapi dengan senang hati. Seluruh pendengaran dan perhatian saya curahkan kepadanya tanpa memperdulikan tetes-tetes keringat yang masih saja mengganggu konsentrasiku.Singkatnya, dia curhat permasalahannya yang cukup pelik. Dia seorang mahasiswa sekaligus seorang santri di sebuah pondok pesantren di kota Jogja. Apa masalah yang sedang dihadapinya? Apakah tidak mempunyai uang untuk membayar kuliah? Dimarahi orang tuanya karena tidak kunjung lulus kuliah? Terancam DO dari universitas? Wow.. ternyata bukan semua itu yang membuatnya galau. Masalahnya satu : dia jatuh cinta pada seorang wanita.
Mungkin anda akan berteriak “alamaaak…. masalah sepele….” atau terikan lain yang bernada meremehkan masalah yang sedang dia hadapi! Ternyata permasalahannya tidak sesederhana yang anda kira. Memang benar dia sedang jatuh cinta dengan seorang wanita, perjalanan cintanya juga datar-datar saja, sang wanita seorang perawan dan dia sendiri masih jejaka. Perjalanan cintanya juga tidak melanggar norma-norma kepantasan, apalagi melanggar syariat Islam. Lantas apa yang menjadikannya galau, sampai-sampai harus mengorbankan harga dirinya berani curhat pada saya, orang yang baru dikenalnya?Dia membeberkan, bahwa semenjak jatuh cinta dengan wanita yang dikenalnya, seakan-akan berada dalam persimpangan jalan yang tiada berujung. Sisi hatinya mengatakan, dia harus menyelesaikan kuliah dan nyantri di Pondok Pesantren sekarang. Menurut pendapat pribadinya “Dilarang jatuh cinta sebelum selesai pendidikan di pesantren!” Namun sisi hatinya yang lain mengatakan “Sebagai manusia biasa dan sudah cukup umur, maka boleh-boleh saja jatuh cinta pada wanita”.
Hal inilah yang membuatnya galau, bila malam telah merayap memeluk siang, hatinya semakin galau dan gelisah, mana yang harus dipilih : melanjutkan cintanya dengan resiko membuyarkan pendidikan di pesantren ataukah meninggalkan wanita pujaannya demi pendidikan? Saat mengatakan hal ini kulihat matanya menerawang jauh tanpa ekspresi, berulangkali nafasnya yang berat semakin menyesakkan dadanya. Sekejap kami asyik dalam diam, namun segera kutatap mata dan wajahnya yang memelas.
“Dik, apa yang membuatmu gelisah kalau kamu bisa mengadukan semua ini kepada Alloh melalui sholat istikharahmu?” ucapku pelan membuyarkan lamunannya.
“Justru itu mas yang membuatku semakin gelisah, sampai saat ini saya belum berani sholat istikharah”, jawabnya pelan.
“Kenapa tidak berani?” timpalku.
“Aku takut bila Alloh memberikan keputusan supaya melanjutkan nyantri di pesantren. Aku takut kalau itu benar-benar terjadi. Aku tidak mau meninggalkan dia, mas”, jawabnya semakin memelas.
Saya kembali diam, mungkin pembaca bisa saja menebak saya akan menjawab “Lho, berarti anda sudah punya pilihan dong…. yaitu meneruskan kisah cintanya dan meninggalkan pesantren”. Namun kalimat itu tidak akan saya ucapkan. Sebagai seorang yang pernah nyantri di pesantren saya tahu betul permasalahan ini sangat berat. Santri yang jatuh cinta pada wanita di tengah-tengah pendidikan pesantren adalah cobaan yang sangat berat, bukan masalah yang sepele. Saya tatap sekali lagi matanya yang sayu.
“Dik, apakah kamu bahagia menjadi seorang santri?” perntanyaanku mengalihkan sementara dari topik utama pembicaraan kami.
“Sangat suka mas, karena itu cita-cita saya sejak kecil”, jawabnya mantab. Wajah yang tadi layu, kuyu, dan nampak sekali gurat-gurat kegundahan, mendadak berubah ceria.
“Lantas, apakah adik juga bercita-cita menjadi seorang kyai, atau paling tidak menjadi seorang ustadz?” tanyaku sejurus kemudian.
“Iya mas, saya mempunyai keinginan seperti itu, paling tidak menjadi ustadz di desa asal sana. Saya ingin membenahi masyarakat yang menurut saya sangat jauh dari nilai-nilai agama”, jawabnya semakin bersemangat.
“Benar itu cita-cita panjenengan?”
“Iya mas, itu cita-cita saya”
“Apakah cita-cita itu masih menghujam kuat di hatimu?”
“Masih mas, sampai sekarang cita-cita itu tetap tertancap kuat di hati saya”.
Saya tersenyum mendengar jawabannya. Dengan keberanian yang luar biasa, aku dekati dia dan kupeluk pundaknya dengan penuh kasih sayang. Kutatap lebih dalam mata dan wajahnya yang mulai berbinar.
“Dik, apakah sebagai seorang santri kamu juga percaya bahwa Alloh pasti mendatangkan jodoh untukmu?”
Mendadak dia menatap wajahku dengan tatapan yang tak kuketahui maknanya, hanya senyum manis di ujung bibirnya yang kutangkap apa artinya. Dia memelukku semakin erat. Kubiarkan tangannya yang kekar melingkar di pundakku. Pelukannya semakin erat, erat dan erat, hingga aku tersadar ada sebuah tetes bening membasahi punggungku. Sebuah suara lirih sayup-sayup terdengar “Terima kasih mas, aku telah menemukan jalan keluarnya…..”
Setelah puas menumpahkan perasaannya, dia mohon pamit ingin pulang ke pesantrennya. Kuiringi kepergiannya dengan tatapan bahagia sampai dia menghilang di antara hiruk-pikuk orang-orang yang bergegas berjalan. Angin yang lembut seakan mengusir gerahnya badanku, namun kebahagiaan yang kurasakan siang itu, jauh membahagiakan hatiku, karena sudah membantu memecahkan permasalahan seseorang, meskipun saya tidak mengenal dirinya…….
Penghujung Juni 2008, di pinggir jalan Wates. Teriring salam untuk Mas MY di sana
Entah angin dari mana pembicaraan kami menjurus pada curhat. Ya, sang mahasiswa itu curhat kepada saya, seseorang yang nota bene baru saja dikenalnya. Ingat akan petuah dari leluhur, “Jejering satriya tama, aja golek senenge dewe, ning kudu bisa gawe senenging liyan” (Seorang ksatria jangan mencari kesenangan pribadi, namun harus bisa membuat orang lain bahagia/senang), maka curhatnya saya tanggapi dengan senang hati. Seluruh pendengaran dan perhatian saya curahkan kepadanya tanpa memperdulikan tetes-tetes keringat yang masih saja mengganggu konsentrasiku.Singkatnya, dia curhat permasalahannya yang cukup pelik. Dia seorang mahasiswa sekaligus seorang santri di sebuah pondok pesantren di kota Jogja. Apa masalah yang sedang dihadapinya? Apakah tidak mempunyai uang untuk membayar kuliah? Dimarahi orang tuanya karena tidak kunjung lulus kuliah? Terancam DO dari universitas? Wow.. ternyata bukan semua itu yang membuatnya galau. Masalahnya satu : dia jatuh cinta pada seorang wanita.
Dilema Seorang Santri |
Hal inilah yang membuatnya galau, bila malam telah merayap memeluk siang, hatinya semakin galau dan gelisah, mana yang harus dipilih : melanjutkan cintanya dengan resiko membuyarkan pendidikan di pesantren ataukah meninggalkan wanita pujaannya demi pendidikan? Saat mengatakan hal ini kulihat matanya menerawang jauh tanpa ekspresi, berulangkali nafasnya yang berat semakin menyesakkan dadanya. Sekejap kami asyik dalam diam, namun segera kutatap mata dan wajahnya yang memelas.
“Dik, apa yang membuatmu gelisah kalau kamu bisa mengadukan semua ini kepada Alloh melalui sholat istikharahmu?” ucapku pelan membuyarkan lamunannya.
“Justru itu mas yang membuatku semakin gelisah, sampai saat ini saya belum berani sholat istikharah”, jawabnya pelan.
“Kenapa tidak berani?” timpalku.
“Aku takut bila Alloh memberikan keputusan supaya melanjutkan nyantri di pesantren. Aku takut kalau itu benar-benar terjadi. Aku tidak mau meninggalkan dia, mas”, jawabnya semakin memelas.
Saya kembali diam, mungkin pembaca bisa saja menebak saya akan menjawab “Lho, berarti anda sudah punya pilihan dong…. yaitu meneruskan kisah cintanya dan meninggalkan pesantren”. Namun kalimat itu tidak akan saya ucapkan. Sebagai seorang yang pernah nyantri di pesantren saya tahu betul permasalahan ini sangat berat. Santri yang jatuh cinta pada wanita di tengah-tengah pendidikan pesantren adalah cobaan yang sangat berat, bukan masalah yang sepele. Saya tatap sekali lagi matanya yang sayu.
“Dik, apakah kamu bahagia menjadi seorang santri?” perntanyaanku mengalihkan sementara dari topik utama pembicaraan kami.
“Sangat suka mas, karena itu cita-cita saya sejak kecil”, jawabnya mantab. Wajah yang tadi layu, kuyu, dan nampak sekali gurat-gurat kegundahan, mendadak berubah ceria.
“Lantas, apakah adik juga bercita-cita menjadi seorang kyai, atau paling tidak menjadi seorang ustadz?” tanyaku sejurus kemudian.
“Iya mas, saya mempunyai keinginan seperti itu, paling tidak menjadi ustadz di desa asal sana. Saya ingin membenahi masyarakat yang menurut saya sangat jauh dari nilai-nilai agama”, jawabnya semakin bersemangat.
“Benar itu cita-cita panjenengan?”
“Iya mas, itu cita-cita saya”
“Apakah cita-cita itu masih menghujam kuat di hatimu?”
“Masih mas, sampai sekarang cita-cita itu tetap tertancap kuat di hati saya”.
Saya tersenyum mendengar jawabannya. Dengan keberanian yang luar biasa, aku dekati dia dan kupeluk pundaknya dengan penuh kasih sayang. Kutatap lebih dalam mata dan wajahnya yang mulai berbinar.
“Dik, apakah sebagai seorang santri kamu juga percaya bahwa Alloh pasti mendatangkan jodoh untukmu?”
Mendadak dia menatap wajahku dengan tatapan yang tak kuketahui maknanya, hanya senyum manis di ujung bibirnya yang kutangkap apa artinya. Dia memelukku semakin erat. Kubiarkan tangannya yang kekar melingkar di pundakku. Pelukannya semakin erat, erat dan erat, hingga aku tersadar ada sebuah tetes bening membasahi punggungku. Sebuah suara lirih sayup-sayup terdengar “Terima kasih mas, aku telah menemukan jalan keluarnya…..”
Setelah puas menumpahkan perasaannya, dia mohon pamit ingin pulang ke pesantrennya. Kuiringi kepergiannya dengan tatapan bahagia sampai dia menghilang di antara hiruk-pikuk orang-orang yang bergegas berjalan. Angin yang lembut seakan mengusir gerahnya badanku, namun kebahagiaan yang kurasakan siang itu, jauh membahagiakan hatiku, karena sudah membantu memecahkan permasalahan seseorang, meskipun saya tidak mengenal dirinya…….
Penghujung Juni 2008, di pinggir jalan Wates. Teriring salam untuk Mas MY di sana
Posting Komentar untuk "Dilema Seorang Santri"